PRAKTIK SUNAT PEREMPUAN DI INDONESIA
Praktik sunat perempuan di Indonesia dikenal secara
luas, namun sunat perempuan di Indonesia pada umumnya dipraktikkan pada taraf
yang ringan bahkan hanya secara simbolis. Menurut Putranti (2003) yang mengutip
pendapat Feillard dan Marcoes bahwa di Indonesia, sunat perempuan baru mulai dipersoalkan
setelah gencarnya perbincangan mengenai Gender, seksualitas, dan kesehatan
reproduksi yang disuarakan aktivis perempuan kira-kira sejak 5 tahun terakhir
ini. Sebelumnya, isu ini kurang mendapat perhatian karena prevalensinya tidak
diketahui secara pasti, dan prosedur pelaksanaannya dipandang tidak cukup membahayakan
kesehatan.
Satu-satunya informasi mengenai sunat perempuan di
Indonesia yang cukup lengkap adalah studi Schrieke pada tahun 1921 yang
mengindikasikan dilakukannya praktik sunat perempuan di sebagian besar tanah
Jawa, beberapa daerah di Sulawesi (Makasar, Gorontalo), Kalimantan (Pontianak,
Banjarmasin), Sumatera (Lampung, Riau, Padang, Aceh), pulau Kei di Ambon, pulau
Alor, dan suku Sasak di Lombok. Studi tersebut juga melaporkan bahwa sunat
perempuan pada umumnya dilakukan secara rahasia, pada usia sangat muda, dan
dengan cara menghilangkan sebagian kecil ujung klitoris.
Berdasarkan hasil penelitian Astuti dkk (2011)
melaporkan bahwa penerimaan wanita dewasa terhadap praktik sunat perempuan yang
dieksplorasi melalui diskusi kelompok terarah dengan ibu-ibu yang dikelompokkan
berdasarkan tingkat pendidikannya, didapatkan respon yang cukup berbeda. Pada ibu-ibu
berpendidikan SMA ke atas penerimaan terhadap sunat perempuan lebih terbuka dan
bisa melihatnya dari sudut pandang kepentingan kesehatan, isu agama dan adat,
dipandang tidak akan menjadi kendala sejauh pemahaman yang baik diberikan.
Ibu-ibu dari pendidikan SMP ke bawah masih ada yang memandang sunat perempuan
erat kaitannya dengan isu bukan tradisi dan budaya. Demikian juga halnya
tentang penerimaan terhadap sunat perempuan pada kelompok ini menyatakan akan
bisa menerima untuk alasan kesehatan walaupun lebih menyerahkan keputusan pada
suami baik untuk sunat perempuan pada suami maupun anak laki-laki mereka.
Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada dengan judul
laporan akhir “Male and Female Genital Cutting Konteks, Makna, dan
Keberlangsungan Praktik dalam Masyarakat Yogyakarta dan Madura”, bahwa praktik
sunat perempuan yang melibatkan tindakan untuk melukai alat kelamin perempuan dilakukan
dengan cara memotong atau menggores pada ujung klitoris, atau pada bagian
labia. Yang terpenting dari penggoresan ini adalah keluarnya sedikit darah yang
menandakan bahwa prosedur tersebut telah sah menurut agama. Dasar diparktikkannya
sunat perempuan di Indonesia masih sangat bercampur antara kepercayaan, adat,
dan agama. Tindakan sunat perempuan di Indonesia biasanya dipraktikkan oleh
Dukun wanita, yang secara turun-temurun telah mewarisi kemampuan ini, namun
pada masa sekarang tidak sediktit peran dari Dukun tersebut yang telah
digantikan oleh petugas kesehatan seperti Bidan (Irianto, 2006).
Praktik sunat perempuan yang dilakukan oleh petugas kesehatan, bertindak berdasarkan
Permenkes Nomor 1636 Tahun 2010 pasal 4 Ayat 2 yaitu, menetapkan pelaksanaan
sunat perempuan dilakukan dengan prosedur tindakan sebagai berikut:
- Cuci tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir selama 10 (sepuluh) menit.
- Gunakan sarung tangan steril.
- Pasien terbaring terlentang, kaki direntangkan secara hati-hati.
- Fiksasi lutut dengan tangan, vulva ditampakkan.
- Cuci vulva dengan povidon iodine 10%, menggunakan kain kasa.
- Bersihkan kotoran (smegma) yang ada diantara frenulum klitoris dan gland klitoris sampai bersih.
- Lakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris (frenulum klitoris) dengan menggunakan ujung jarum steril sekali pakai berukuran 20G-22G dari sisi mukosa ke arah kulit, tanpa melukai klitoris.
- Cuci ulang daerah tindakan dengan povidon iodine 10%.
- Lepas sarung tangan. dan
- Cuci tangan dengan sabun dengan air bersih yang mengalir.