Otonomi Daerah Dan Komunikasi Politik Perempuan: (Analisis Gramcian Kandidat Perempuan Parlemen Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009)
Abstrak: Penelitian mengenai
Komunikasi Politik Kandidat Perempuan berdasarkan masalah, teori, metodologi dan
analisis penelitian yang dipergunakan oleh peneliti bertujuan untuk 1)
Mengungkapkan kebijakan affirmative action berdasarkan UU Pemilu 2003 dan UU
Partai Politik 2008 yang merupakan kebijakan yang sesuai dalam upaya
peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen dalam kerangka otonomi daerah. 2)
Menjelaskan dukungan partai politik terhadap proses pemenuhan kuota 30 persen
atas dasar UU Pemilu 2009. 3) Menjelaskan dan mengkritisi peran media massa
dalam proses politik kandidat perempuan dalam pemilu 2009. 4) Mengetahui dan
menjelaskan kualitas komunikasi politik kandidat perempuan DKI Jakarta dalam
pemilu 2009. 5) Menjelaskan perjuangan perempuan berkaitan dengan ketentuan
kuota dan otonomi daerah merupakan gerakan
counter hegemoni. Paradigma yang digunakan dalam penelitian adalah
paradigma kritis dengan model analisis Gramscian. Teori dan konsep penelitian
ini adalah Pemikiran Gramcsi yaitu Hegemoni Counter Hegemoni, Aliansi Jaringan Politik,
Komunikasi Politik, Feminis radikal, Media Massa dalam persepktif New Marxist
(Gramcsi) dan Konsep Otonomi Daerah. Pendekatan yang dilakukan adalah
Kualitatif dengan metode studi kasus dan Feminist Research dan dilengkapi
dengan metode analisis Marxist Gramsci. Hasil dan pembahasan penelitian
menjelaskan bahwa perempuan mengalami majinalisasi secara budaya dan struktural
di kancah politik yang mengakibatkan ketidakadilan dalam keterwakilan perempuan
di Parlemen. Pemahaman tersebut menjadi sangat mengakar ditengah sistem dan
struktur sosial kemasyarakatan dan telah menjadi sebuah sistem budaya yaitu
sistem patriarki. Perempuan secara bersama-sama harus mempunyai aliansi
jaringan yang kuat untuk pressure terhadap penguasa/Negara guna mengubah
kondisi keterwakilan perempuan di parlemen agar memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang atau
lebih kuat dengan negara. Bargaining tersebut sangat diperlukan oleh perempuan agar
mampu bersaing dengan laki-laki dan lebih terbuka peluang untuk mencapainya
dengan lahirnya UU Partai Politik 2008 dan diberlakukannya UU Otonomi Daerah.
Dalam konsep Gramsci, keseimbangan posisi tawar antara gerakan perempuan, yang
direpresentasikan sebagai masyarakat sipil, dengan negara, yang
direpresentasikan sebagai masyarakat politik, akan melahirkan pertarungan
ide/intelektuan dan praksis antara keduanya untuk menghasilkan hegemoni baru
yang memsejahterakan bagi kaum perempuan dna masyarakat sipil lainnya dan bagi
masyarakat politik. Pada fase ini Gramsci menyebutnya sebagai gerakan ‘counter
hegemony’, di mana kaum perempuan mampu tampil dan melahirkan hegemoni baru
setelah memenangkan pertarungan ide melawan hegemoni lama. Perjuangan kamu
perempuan sebagai kandidat Pemilu DKI Jakarta 2009 merupakan bentuk ‘counter
hegemoni’. Perjuangan dilakukan agar
perempuan memiliki posisi tawar
(bargaining position) yang tinggi dalam politik dan hal itu sangat dipengaruhi oleh banyak
kekuatan lainnya yaitu media massa. Kebutuhan akan dukungan media industri
menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari. Media Industri, sebagai sebuah
institusi yang memiliki ideologi kapital, memang bukan tidak mungkin
dimanfaatkan oleh gerakan kaum perempuan untuk memperjuangkan ide dan gerakan
perjuangan counter hegemoni perempuan/masyarakat sipil. Media dapat saja dipergunakan
oleh kaum perempuan untuk mendukung perjuangan ‘counter hegemony’ . Oleh karenya perjuangan counter hegemony kaum
perempuan sangat sulit dilakukan jika perjuangan bersifat parsial/terpecah.
Perempuan Kandidat Politik DKI Jakarta memiliki semangat Gerakan perlawanan (‘fighting movement’) untuk
mengubah nilai budaya patriarkhi khsuusnya dalam politik. Pada konsep ini jelas
bahwa ‘ideologi pembebasan’ ternyata tidak cukup ampuh untuk menambah daya
gerakan melainkan sebuah kebersamaan visi dan misi dari seluruh elemen
perjuangan yang akan mampu melahirkan energi besar kaum perempuan untuk
mencapai tujuan. Energi besar itu adalah ‘collective will’ dari kaum perempuan
itu sendiri. Dari sini jelas bahwa menjadikan ‘collective will’ sebagai sebuah
ideologi perjuangan merupakan sebuah keharusan agar ide perjuangan kaum
perempuan itu memiliki energi yang konstan dan signifikan.
Kata kunci: otonomi daerah, komunikasi politik, analisis
Gramcsian kandidat perempuan parlemen dkiJakarta- pemilu 2009
Penulis: Umaimah Wahid
Kode Jurnal: jpsosiologidd140349