Faktor-faktor Penyebab Pelacuran

Faktor-faktor penyebab pelacuran sangat beragam. Banyak studi yang telah dilakukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban mengenai faktor yang mempengaruhi perempuan menjadi pelacur. Weisberg (Koentjoro, 2004) menemukan adanya tiga motif utama yang menyebabkan perempuan memasuki dunia pelacuran, yaitu:
  1. Motif psikoanalisis menekankan aspek neurosis pelacuran, seperti bertindak sebagaimana konflik Oedipus dan kebutuhan untuk menentang standar orang tua dan sosial.
  2. Motif ekonomi secara sadar menjadi faktor yang memotivasi. Motif ekonomi ini yang dimaksud adalah uang.
  3. Motivasi situasional, termasuk di dalamnya penyalahgunaan kekuasaan orang tua, penyalahgunaan fisik, merendahkan dan buruknya hubungan dengan orang tua. Weisberg juga meletakkan pengalaman di awal kehidupan, seperti pengalaman seksual diri dan peristiwa traumatik sebagai bagian dari motivasi situasional. Dalam banyak kasus ditemukan bahwa perempuan menjadi pelacur karena telah kehilangan keperawanan sebelum menikah atau hamil di luar nikah.
Berbeda dengan pendapat di atas, Greenwald (Koentjoro, 2004) mengemukakan bahwa faktor yang melatarbelakangi seseorang untuk menjadi pelacur adalah faktor kepribadian. Ketidakbahagiaan akibat pola hidup, pemenuhan kebutuhan untuk membuktikan tubuh yang menarik melalui kontak seksual dengan bermacam-macam pria, dan sejarah perkembangan cenderung mempengaruhi perempuan menjadi pelacur.
Sedangkan Supratiknya (1995) berpendapat bahwa secara umum alas an wanita menjadi pelacur adalah demi uang. Alasan lainya adalah wanita-wanita yang pada akhirnya harus menjadi pelacur bukan atas kemauannya sendiri, hal ini dapat terjadi pada wanita-wanita yang mencari pekerjaan pada biro-biro penyalur tenaga kerja yang tidak bonafide, mereka dijanjikan untuk pekerjaan di dalam atau pun di luar negeri namun pada kenyataannya dijual dan dipaksa untuk menjadi pelacur.
Kemudian secara rinci Kartini Kartono (2005) menjelaskan motifmotif yang melatarbelakangi pelacuran pada wanita adalah sebagai berikut:
  1. Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek. Kurang pengertian, kurang pendidikan, dan buta huruf, sehingga menghalalkan pelacuran.
  2. Ada nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, dan keroyalan seks. Hysteris dan hyperseks, sehingga tidak merasa puas mengadakan relasi seks dengan satu pria/suami.
  3. Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, dan pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam usaha mendapatkan status sosial yang lebih baik.
  4. Aspirasi materiil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakan terhadap pakaian-pakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah-mewah, namun malas bekerja.
  5. Kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior. Jadi ada adjustment yang negative, terutama sekali tarjadi pada masa puber dan adolesens. Ada keinginan untuk melebihi kakak, ibu sendiri, teman putri, tante-tante atau wanita-wanita mondain lainnya.
  6. Rasa ingin tahu gadis-gadis cilik dan anak-anak puber pada masalah seks, yang kemudian tercebur dalam dunia pelacuran oleh bujukan banditbandit seks.
  7. Anak-anak gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekankan banyak tabu dan peraturan seks. Juga memberontak terhadap masyarakat dan norma-norma susila yang dianggap terlalu mengekang diri anak-anak remaja , mereka lebih menyukai pola seks bebas.
  8. Pada masa kanak-kanak pernah malakukan relasi seks atau suka melakukan hubungan seks sebelum perkawinan (ada premarital sexrelation) untuk sekedar iseng atau untuk menikmati “masa indah” di kala muda.
  9. Gadis-gadis dari daerah slum (perkampungan-perkampungan melarat dan kotor dengan lingkungan yang immoral yang sejak kecilnya selalu melihat persenggamaan orang-orang dewasa secara kasar dan terbuka, sehingga terkondisikan mentalnya dengan tindak-tindak asusila). Lalu menggunakan mekanisme promiskuitas/pelacuran untuk mempertahankan hidupnya.
  10. Bujuk rayu kaum laki-laki dan para calo, terutama yang menjajikan pekerjaan-pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi.
  11. Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk : film-film biru, gambar-gambar porno, bacaan cabul, geng-geng anak muda yang mempraktikkan seks dan lain-lain.
  12. Gadis-gadis pelayan toko dan pembantu rumah tangga tunduk dan patuh melayani kebutuhan-kebutuhan seks dari majikannya untuk tetap mempertahankan pekerjaannya.
  13. Penundaan perkawinan, jauh sesudah kematangan biologis, disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomis dan standar hidup yang tinggi. Lebih suka melacurkan diri daripada kawin.
  14. Disorganisasi dan disintegrasi dari kehidupan keluarga, broken home, ayah dan ibu lari, kawin lagi atau hidup bersama dengan partner lain. Sehingga anak gadis merasa sangat sengsara batinnya, tidak bahagia, memberontak, lalu menghibur diri terjun dalam dunia pelacuran.
  15. Mobilitas dari jabatan atau pekerjaan kaum laki-laki dan tidak sempat membawa keluarganya.
  16. Adanya ambisi-ambisi besar pada diri wanita untuk mendapatkan status sosial yang tinggi, dengan jalan yang mudah tanpa kerja berat, tanpa suatu skill atau ketrampilan khusus.
  17. Adanya anggapan bahwa wanita memang dibutuhkan dalam bermacammacam permainan cinta, baik sebagai iseng belaka maupun sebagai tujuan-tujuan dagang.
  18. Pekerjaan sebagai lacur tidak membutuhkan keterampilan/skill, tidak memerlukan inteligensi tinggi, mudah dikerjakan asal orang yang bersangkutan memiliki kacantikan, kemudaan dan keberanian.
  19. Anak-anak gadis dan wanita-wanita muda yang kecanduan obat bius (hash-hish, ganja, morfin, heroin, candu, likeur/minuman dengan kadar alkohol tinggi, dan lain-lain) banyak menjadi pelacur untuk mendapatkan uang pembeli obat-obatan tersebut.
  20. Oleh pengalaman-pengalaman traumatis (luka jiwa) dan shock mental misalnya gagal dalam bercinta atau perkawinan dimadu, ditipu, sehingga muncul kematangan seks yang terlalu dini dan abnormalitas seks.
  21. Ajakan teman-teman sekampung/sekota yang sudah terjun terlebih dahulu dalam dunia pelacuran.
  22. Ada kebutuhan seks yang normal, akan tetapi tidak dipuaskan oleh pihak suami.
Dari pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi seseorang memasuki dunia pelacuran dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa rendahnya standar moral dan nafsu seksual yang dimiliki orang tersebut. Sedangkan faktor eksternal berupa kesulitan ekonomi, korban penipuan, korban kekerasan seksual dan keinginan untuk memperoleh status  sosial yang lebih tinggi.

Artikel Terkait :